Assalamualaykum wrt. wbt.

Firman Allah s.w.t.

“Jika kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.”(Al-Isra’: 7)


Hari itu ada seseorang yang meninggal dunia. Seperti biasanya, jika ada sahabat meninggal dunia, Rasulullah pasti menyempatkan diri mengantarkan jenazahnya sampai ke kuburan. Tidak cukup sampai di situ, pada waktu pulangnya, Rasulullah menyempatkan diri singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga yang ditinggalkan supaya tetap bersabar dan tawakkal menerima musibah itu. Begitupun terhadap keluarga sahabat yang satu ini.

Sesampai di rumah duka, Rasulullah bertanya kepada isteri almarhum, “Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat atau sesuatu sebelum ia wafat?” Sang isteri yang masih diliputi kesedihan hanya tertunduk. Isak tangis masih sesekali terdengar daripada dirinya. “Aku mendengar ia mengatakan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah menjelang ajal, ya Rasulullah.”

Rasulullah tertanya, “Apa yang dikatakannya?”



 “Aku tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, aku tidak mengerti apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”

“Bagaimana bunyinya?” tanya Rasulullah lagi. Isteri yang setia itu menjawab, “Suamiku mengatakan ‘Andaikata lebih panjang lagi…. Andaikata yang masih baru… Andaikata semuanya….’. Hanya itulah yang tertangkap sehingga aku dan keluargaku bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai….”

Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah itu membuat istri almarhum sahabat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara, “Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru.” Beliau diam sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah aku ceritakan kepada kalian agar tak lagi heran dan bingung.”

Sekarang, bukan hanya isteri almarhum saja yang menghadapi Rasulullah. Semua keluarga almarhum mengerubungi Rasul akhir zaman itu. Ingin mendengar apa gerangan sebenarnya yang terjadi.

“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai. “Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan solat Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa dengan dengan orang buta yang bertujuan sama—hendak pergi ke masjid pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal shalihnya itu. Lalu ia pun berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya adalah andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya akan jauh lebih besar pula.”

Semua anggota keluarga itu sekarang mengangguk-angguk kepalanya. Mulai mengerti sebagian duduk perkara. “Terus, ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?” tanya sang isteri yang semakin penasaran saja. Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali untuk solat Subuh, cuaca dingin sekali. Di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suaminya membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia pun mencopot mantelnya yang lama yang tengah dikenakannya dan diberikan kepada si lelaki tua itu. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Cuba, andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang lama yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dikatakan suami selengkapnya.”

“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa maksudnya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi. Dengan penuh kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingatkah engkau ketika pada suatu waktu suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Ketika itu engkau segera menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak akan kuberi hanya separuh. Sebab, andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda pula.’”

Sekarang, semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan apa yang telah terjadi kepada suami dan ayah mereka ketika akan menjelang wafatnya. Kelapangan telah ia dapatkan karena ia tidak lelah untuk menolong dan memberi.

Dalam kehidupan seharian juga kekadang kita diuji sama ada sedar atau tidak, didatangi permintaan pertolongan. Usah difikirkan mengapa perlu ditolong tetapi tanyakan apa yang boleh ditolong walaupun sekadar mampu. Saya sendiri pernah diuji tatkala didatangi seorang pemuda yang mengaku muallaf, saat itu dia menunjukkan dokumen pemelukan Islamnya itu dan memerlukan sumbangan kewangan. Saya berpaling sebentar, melihat dompet saya tidak ada apa2 yang boleh diberikan. Dalam hati berbisik, "Ya Allah, nk bg ape ni? Duit aku pun ngam2 je nk makan." Saya memintanya beralih kepada Pak Adam tok siak masjid. Jadi serba-salah sebab saya tahu Pak Adam tidak berapa hiraukan muallaf tersebut. Teruknya rasa diri tak boleh buat apa2. Saya beralih kepada rakan yg masih berliqa' di masjid, harap ada beberapa sahabat yang sudi membelanjanya makan(sekurang2nya dapat tau masalah sebenar muallaf tersebut) Alhamdulillah ada beberapa yang setuju dengan cadangan itu. Dicari kembali pemuda muallaf tersebut, sebentar sugul ternampaknya keluar dari pejabat am pusat Islam dan terus berlalu pantas keluar. Dia berjumpa setiap orang yang mampu ditatap untuk memohon pertolongan di sepanjang laluannya itu. Lagi sekali hati rasa bersalah, hanya mampu melihat tanpa tindakan yang wajar sampailah hilangnya daripada pandangan.

Pengajaran di sini, walaupun nampak pada zahir seseorang itu elok fizikalnya tetapi kadang2 masalah rohani dan psikologi menyebabkan ia tidak nampak apa yang boleh dimanfaatkan daripada fizikalnya untuk berusaha beroleh kesenangan. Dalam situasi ini, saya berpendapat ada dua perkara yang perlu diberi perhatian.

Pertama, pandanglah secara husnul dzhan orang yang memohon bantuan di hadapan kita. Jangan fikir, dia ni nak menipu kita, saja2 tak mau cari kerja, pemalas dsb. Pandanglah tiap2 orang dihadapan kita itu adalah sumber pahala yang ALLAH kurniakan kepada kita. Jika kita berikan pertolongan even semampu yang ada, InsyALLAH pahala akan tercatat hatta memberikan cadangan dan nasihat kepadanya juga adalah faedah yang terbesar. Kan ALLAH dan berfirman dalam alquran surah az-zariyyat : 55 yang bermaksud "Dan tetaplah memberi peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermakna bagi orang2 beriman". Ini lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa(pengajaran bagi saya).
Kedua, buat2 tangguhkan pemberian dan kukuhkan jiwanya pemberian nasihat dan kata-kata semangat lebih baik supaya dia akan berusaha supaya tidak mengalami keadaan yang serupa. Seperti beritahunya, "Saya akan bantu kamu, tapi jom ikut saya dahulu."(sama ada bawa pergi makan atau pergi ke lokasi yang sewajarnya) Tindakan ini akan membuatkannya paling kurang sentiasa mendampingi kita dan ambillah kesempatan ini untuk mengisi rohaninya yang butuhkan nasihat rohani. Addinun nasihah.

Allahua'lam.